Ilwis #14 : Medium!!

Hweppiiiii newyear!!!

Wah… 2025….

Ngetik angka 2025 gini bikin aku nostalgia dikit. Aku jadi keinget, waktu SD aku sempet ngitung dan penasaran nanti di 2025 itu aku umur berapa dan lagi ngapain. Karena saat itu aku lagi tergila-gila sama ITB, jadinya bocah SD itu tentu lagi bayangin gimana rasanya kuliah di ITB. BTW, dulu image anak ITB di kepala bocah itu adalah orang jenius yang kemana-mana pakai jas lab. Wkwkwk mohon maklumi fantasi absurd zia kecil itu. Walau begitu, melihat kilasan kenyataan sekarang, ternyata bener aku lagi kuliah di 2025 ini. Ya.. cuma.. sayang aja, sayang cuma itu yang bener😊🙏.

Oke, sekian nostalgianya. Di tulisan pertama tahun ini, aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Tentu, hanya penting untukku —wkwkwk. Walau begitu, ini akan amat sangat berpengaruh sama tulisan-tulisanku kedepannya. Soalnya yang ingin aku sampaikan itu tentang perubahan gaya bahasa yang signifikan.

Akhir tahun kemarin aku berhasil memulai salah satu mimpi besarku, nulis topik yang lebih serius dari blog dan review drakor, yaitu pendidikan. Aku mulai upload artikel pendidikan di Medium. Sejauh ini baru dua episode untuk dua segmen yang berbeda. Memang niatnya tahun kemarin aku ingin perkenalan segmen dulu dan cek ombak.

Curhat dikit, itu beneran mimpi yang cukup penting untukku. Bisa dibilang satu-satunya alesan kuliah yang datang dari diriku juga. Seperti ceritaku di episode sebelumnya, aku memutuskan untuk kuliah karena didorong temen. Inginku saat itu hanya satu, aku ingin nambah topik tulisan dan berharap nemu itu di dunia kuliah. Lalu karena aku kuliah di bidang pendidikan, dan profesiku hari itu sebagai pengajar juga datangnya dari bidang pendidikan. Akhirnya aku pilih topik itu.

Curhat tambahan, semi berkeluh. Aku siapin mimpi itu dari lama. Walau mulai kuliah dari 2022, persiapan bikin medium baru aku mulai di awal 2024. Setelah bulat untuk berhenti ngajar, aku baru mulai merencanakan semuanya. Terus dari riset sampai upload bisa butuh satu tahun juga bukan karena malas-malasan, tapi memang banyak yang aku siapin (Berdalih karena diremehin diri sendiri, “begitu doang ngabisin waktu setahun”, katanya).

Walau isi artikel-artikelnya sepele, tapi banyak yang aku perhatikan di sana. Aku tidak asal bawa topik, tapi kawasan dari topik sampai segmen sudah aku pikirkan baik-baik. Bahkan milih menggunakan platform Medium pun merupakan pertimbangan yang panjang. Tapi dari semua itu, yang paling ngabisin waktu adalah merubah gaya bahasa. Bagaimana pun, karena mengangkat topik pendidikan —yang menurutku cukup serius, aku ga mau pakai bahasa yang santai seperti di blog, atau gaya bahasa yang sangat subjektif seperti di review.

Oke, wait!! Sampe sini, mungkin akan muncul pertanyaan;

“Kenapa harus segitunya?”

“Untuk tulisan begitu doang, ribet bgt!”

Walau tentunya suara itu datang dari pikiran jahatku sendiri, tapi barangkali ada yang sepemikiran denganku, aku ingin jawab pertanyaan di sini. Ya sekalian menyangkal berisiknya isi kepalaku sendiri juga.

Kenapa aku berusaha sekeras itu hanya untuk nambah topik, jawabannya karena aku beneran ingin lakuin yang terbaik. Walau masih jelek dan banyak yang harus dirubah, seenggaknya sampai hari aku upload artikel itu, aku ingin itu jadi usaha terbaikku.

Lalu kenapa selama itu, jawabannya karena aku tidak berbakat. Karena aku sama sekali bukan anak sastra, aku masih belum begitu paham bagaimana menulis yang benar, aku bahkan masih kesulitan nilai mana tulisan bagus mana jelek. Aku hanya senang menyalurkan isi kepalaku lewat ketikan jari ini.

Wkwkwk aneh juga ya, berasa lagi marahin diri sendiri. Sebelum makin jauh, ayo balik ke gaya bahasa.

Mungkin kalau baca sekilas, ga ada yang bergitu aku rubah. Tapi kalo dilihat lebih detail dibanding tulisan-tulisan sebelumnya, akan ditemukan beberapa perubahan. Nah, tadi di awal aku sempet bilang ada hal penting yang ingin disampein. Hal pentingnya itu tentang gaya bahasa juga.

Dari beberapa gaya bahasa yang berubah untuk rubrik tulisan di Medium, ada satu yang ingin banget aku terapin juga di sini, yaitu tentang kata ganti. Dari awal nulis, aku terbiasa pakai kata ganti “aku” dan “temen-temen”. Di medium itu diganti untuk menyesuaikan vibes dari tulisannya.

Kalau di blog itu vibes tulisanku seperti temen yang lagi curhat, atau anak banyak ngomong yang heboh yapping 24/7, di Medium aku ingin vibesnya seperti diskusi one by one. Aku ingin orang yang baca seperti sedang bicara 4 mata denganku membahas topik yang jelas. Hal itu aku lakukan untuk mendukung goals dari setiap segmen dan pesan dari setiap isu yang diangkat. Jadi, beda sama blog yang mau dibaca seneng, ga dibaca juga aku biasa aja, di Medium aku lebih mengharapkan ada yang baca dan bener-bener angkat itu jadi topik diskusi denganku.

Begitulah niat awalku di Medium. Akan tetapi, setelah upload dua tulisan pertama dan evaluasi, aku memutuskan hal lain. Wkwkwk, siapa sangka, ternyata menggunakan kata ganti “aku” dan “kamu” malah lebih nyaman. Entah kenapa kek beneran lagi ngobrol sama seseorang. Lebih lagi, hal itu bikin kata “temen-temen” jadi aneh banget.

Nggak, sih. Sebenernya dari awal juga kata ganti “temen-temen” memang udah aneh. Aku yang ga punya banyak temen ini, sebenernya lagi ngomong sama berapa orang temen sih?! Wkwwkwk aga aneh memang.

Untuk itu aku memutuskan menggunakan kata ganti itu di sini juga. Kedepannya aku ga akan bilang “temen-temen” lagi, tapi “kamu”. Toh memang kamu baca ini sendiri juga kan? Ngapain aku gunakan panggilan jamak, aneh.

Begitu deh yang ingin aku sampaikan di tulisan pertama tahun ini. Lebih ke sapa-sapa aja sih. Tapi kek mau nanyain kabar juga kayanya ga banyak yang berubah dan terlalu basa-basi. Akhirnya aku hanya menyapa dan beketus ria menghujat diriku sendiri di sini. Walau begitu, sekali lagi HWEPI NEWYEARRR!!!!!

Sekian, see you!

Komentar