Ilwis #18: Small Talk
Hai! Apa kabar?
๐๐ซถ๐ป๐✌️๐๐♀️๐ฆ️๐๐ค๐ถ๐ซ️๐ฝ๐๐ฅฐ๐
Aku tulis ini 29 November 2025, selesai evaluasi bujo November dan bersiap menghadap Desember lusa nanti, bulan terakhir di 2025๐. Untukku, Desember selalu jadi bulan yang super sibuk. Selain karena waktu ngajar dulu Desember tuh biasanya lagi hectic persiapan ujian anak-anak dan bagi rapot, buat pribadiku juga biasanya Desember itu dipakai untuk kejar to do list tahunan yang masih belum terkejar. Begitulah, tutup buku memang selalu menguras energi dan waktu๐ค. Kamu begitu juga tidak๐ ? Kalau iya, bagaimana kalau kita ‘tepuk semangat’ dulu? WKWKWK๐ akhir-akhir ini aku lagi suka banget sama tepuk semangat (walau tidak bikin lebih bersemangat juga, tapi layak dicoba๐ ).
TEPUK SEMANGAT!!! ๐๐๐
SE! ๐๐๐ MA! ๐๐๐ NGAT!๐๐๐
SEEEEEEEEMANGAT!!!!!! ๐๐๐
Wkwkwk, twengkyu (kalau kamu) sudah mengikuti๐♀️. Hari ini aku ingin cerita tentang Bapak laundry langgananku. Sedikit backstory, Agustus lalu itu aku pindah rumah ke pagarsih (rumah nenek). Karena pindahan itu cukup mendadak, adaptasiku di sana jadi sedikit lebih lama (yaa~ walau aku memang dasarnya agak sulit adaptasi juga, di manapun itu).
Sekitar dua bulan pertama tinggal di sana, aku coba untuk adaptasi dengan jadwal mencuci. Dari yang awalnya coba cuci baju setiap hari—setiap mandi pagi, seminggu dua kali (masih di mandi pagi), seminggu sekali setiap weekend, sampai tidak sama sekali๐ฅฒ๐. Wkwkwk semakin sini, aku semakin merasakan terkurasnya banyak waktu dan energi untuk cuci baju itu, terlebih karena aku cuci baju manual pakai tangan. Alasannya karena tanggung saja bajuku sendiri terlalu sedikit kalau pakai mesin cuci dan aku pribadi memang lebih suka hasil cucian tangan kalau cuci sendiri.
Mungkin, adaptasi kebiasaan mencuci—yang semakin jauh rentang waktunya itu—jadi mulur juga karena aku keteteran manage waktuku untuk hal yang lain, sebab yang perlu adaptasi dari rutinitas itu ternyata lebih banyak dibanding hanya mencuci pada waktu itu. Alhasil, cucian terus menumpuk, beban kerjaan (mencuci) terus menghantui pikiran, dan bajuku juga lama kelamaan ikut habis๐ฅฒ๐. Untuk itu, mulailah aku menumpuk baju untuk masuk laundry.
Awalnya hanya baju keluar saja, baju rumah masih sempat dicuci pagi selesai mandi. Itupun aku laundry di tempat yang cukup jauh.. hm.. di.. Gerlong… hehehe๐ ✌️… Soalnya itu satu-satunya laundry yang sering aku datangi kalau butuh laundry. Memang biasanya selalu cuci sendiri, baik waktu masih di Pasir Koja atau waktu di Cigondewah, aku rajin cuci. Biasanya laundry itu untuk baju besar seperti hoodie, mukena, atau kain lainnya seperti selimut, seprai, sejadah, atau karpet. Lalu dari semua jenis kain itu, di Gerlong langgananku itu yang paling top markotop๐๐๐.
Kenapa sejauh itu? Ya~ karena beberapa laundry dekat rumah dulu itu tidak ada yang sebagus itu dan karena ke laundry itu paling sebulan sekali saja nggak, jadi bisalah sambil kuliah. Tapi kan keadaannya sekarang tidak begitu ya.. Aku kirim laundry-an seminggu sekali dan tidak rutin ke kampus juga karena—bahkan sampai semester 7 pun—dosen masih sering seenaknya ganti jadwal๐.
Hanya dua kali kirim cucian ke laundry di Gerlong itu, aku langsung mengeluh dan berniat cari laundry di dekat rumah aja๐ . Niatku, mau coba satu persatu dari yang paling dekat sesuai maps. Tapi sebelum memulai pencarian, temanku yang mendengar keluhanku itu malah menyarankan satu laundry di daerah Kopo. Dia adalah orang yang aku rekomendasikan laundry di Gerlong karena dekat sekali dengan kosannya, sekarang malah dia yang rekomendasikan laundry di daerah Kopo karena dulu pernah dirawat di Rumah Sakit Bandung Kiwari (Kopo).
Waktu semester 3 itu dia pernah dirawat sekitar satu bulan di sana dan keluarganya cuci baju di laundry itu, katanya. Sebetulnya Kopo itu tidak begitu dekat juga dengan rumahku, tapi untungnya dekat dengan kantor. Jadi kupikir layak dicoba, WALAUPUN tawaran dari temanku ini tidak begitu meyakinkan๐ฅฒ๐ค. Dia hanya bilang “ya b aja sih zi, laundry rumahan yang gak begitu canggih juga, tapi kata emak gw Bapaknya friendly.”. Aku bingung sih apa yang bisa aku petik dari tawaran temanku itu selain Bapak laundry-nya yang friendly๐๐, tapi karena itu saran seorang teman yang sangat mulia๐♀️, jadi aku coba saja.
Aku pun mengganti rute pencarian, dari yang tadinya cari terdekat, aku coba dari terjauh (tapi dekat kantor) itu ke paling dekat rumah. Berdasarkan rute itu aku ketemu 6 list dan mulai dari coba saran temanku sebagai checklist pertama.
Sayangnya, di percobaan pertama itu malah langsung terjadi sebuah tragedi๐ข. Wkwkwk, begini. Aku pertama kali masukkan baju ke sana itu pagi hari, sekalian berangkat ke kantor. Aku coba dari paket ter-basic-nya dulu; cuci tiga hari plus setrika. Aku juga langsung tukeran nomor dengan Bapak laundry-nya dan cerita sedikit tentang temanku yang rekomendasikan laundry ini—yang tentu Bapaknya sudah lupa siapa ibu-ibu (randomly) yang hanya cuci dua kali di laundry beliau dua tahun lalu itu๐ข๐๐.
Cucian pertama itu jadi tragedi karena selesai masukkan baju dan sampai di kantor, aku langsung mendapat kabar untuk incharge training besoknya pakai celana krem YANG BARU SAJA AKU MASUKKAN KE LAUNDRY beberapa menit lalu. Kek๐?!!! Dengar itu, aku langsung gercep (gerak cepat) chat Bapak laundry untuk ganti paket tiga hari itu jadi paket express karena celana kremku di Pagarsih hanya itu satu-satunya dan kalau beli lagi itu tidak akan sempat. Untungnya Bapak laundry itu fast respons sekali. Padahal aku sampai bilang “kalau perlu bayar lebih dari harga express juga gapapa, Pak”. Tapi Bapaknya dengan santai menjawab, “Gapapa neng, bisa saya segerakan, tidak perlu bayar lebih. Kalau neng nanti malem gak sempat ambil ke sini karena persiapan, subuh ketok ke rumah saya juga gapapa. Lancar-lancar ya nengg.”.
๐ซ ๐ซ ๐ซ ๐ซ ๐ซ
Beuh… walau itu cuma ketikan dan aku tidak bisa pastikan nada bicara Bapak laundry saat itu, tapi aku melting sih. Luluh aku sama Bapak itu๐ซ ✌️. Semenjak hari itu, setiap simpan dan ambil laundry, kami jadi sering ngobrol ringan. Bapaknya jadi sering tanya kabarku, dari gimana kerja dan kuliah, kesibukkan harianku, sampai almarhumah penjual lotek di Sukahaji—yang entah bagaimana ceritanya kami berdua sama-sama kenal ibu itu๐ . Bapak laundry juga kadang curhat bagaiman laundry-an, mesin cuci yang lagi macet, sampai kasus korupsi pegawainya yang dramatis banget๐.
Semua obrolan-obrolan kecil bersama Bapak laundry—yang hanya 2-3 menit setiap ngobrolnya—itu menjadi tumpukkan cerita-cerita yang hangat untukku๐. Sampai akhirnya—sekarang, rutinitas laundry itu mulai stabil aku lakukan seminggu dua kali. Aku masukkan dan ambil laundry setiap hari Minggu dan Rabu. Mau sedikit atau banyak, pokoknya setiap hari itu aku harus ketemu Bapak laundry demi sedikit small talk moment itu.
Yap! Small talk, skill basa-basi yang aku temukan dari Bapak laundry untuk tarik banyak pelanggan ke laundry-nya. Laundry kecil, tidak terlihat (walau di persimpangan jalan besar), tidak begitu proper, murah dan tak meyakinkan (dear Bapak laundry, maaf pak tapi memang rekomendasi temanku itu bikin laundry Bapak terkesan tidak meyakinkan, dia perlu kita beri pelajaran๐). Tapi siapa sangka, pelanggannya cukup banyak. Bukan karena harganya murah atau hasil cuciannya amazing unbelievable, tapi karena small talk skill yang dimiliki Bapaknya yang bikin pelanggan nyaman dan merasakan momen cuci rumahan itu๐ซ.
Aku baru menyadari dan merasakan kenyamanan ini ketika sepupuku menceritakan hal yang serupa. Bedanya, dia itu jatuh hatinya ke Bapak penjual cireng isi di Babakan Irigasi. Sebetulnya ada backstory tersendiri kenapa dia datangi Bapak cireng isi itu dan memang kami sering jajan ke sana setiap ingin cireng tersebut.
Sedikit informasi; cireng isi yang aku maksud ini bukan cireng isi yang sekarang banyak beredar, seperti ini:
Tapi cireng isi berbagai bentuk dan rasa yang sering kami makan waktu kecil. Zuzur saza sekarang cukup sulit untuk menemukan cireng isi seperti ini. Kalau ada pun, cireng yang adonannya seperti ini dengan isian mirip begini itu susah. Berbeda dengan cireng isi bentuk pastel goreng di atas, varian isi dari cireng isi ini itu punya base rasa yang sama yaitu pasta pedas manis yang cukup legit dan tersimpan di bagian tengahnya. Tidak seperti cireng di atas yang isiannya full dengan rempah khas yang berbeda-beda. Kurleb (kurang lebih) begini penampakkannya;
Oke, back to topic sebelum keseruan bahas cireng isi๐.
Akhir-akhir ini, sepupuku sering sekali sengaja ke Babakan Irigasi untuk beli cireng isi Bapak itu. Bahkan ketika dia hanya punya waktu sekitar pukul 10/11 malam selesai jualan dan cape sekali, dia tetap datangi Bapak cireng itu HANYA UNTUK NGOBROL BEBERAPA MENIT BERSAMA BAPAKNYA. Sepupuku sangat menikmati waktu chit-chat ringan bersama Bapak cireng di momen dia tunggu cirengnya digoreng dan dibungkus. Dia sampai pernah bilang, “Aku seneng tau kalo Bapaknya tanya ini itu teh, rasanya kek beban cape jualan seharian tuh ilang gitu aja kalo lagi ngobrol sama Bapak itu. Bapaknya suka semangatin aku juga sebagai sesama pedagang.”.
๐๐ฅน๐ค๐
Pada momen sepupuku bilang begitu, aku auto teringat dengan bestie-ku, Bapak laundry๐ฅน๐ค. Wkwkwk soalnya tanpa sadar akupun selama ini rajin laundry bukan karena kesengajaan sebagai bentuk adaptasi, memang termotivasi untuk ketemu Bapak laundry dan lakukan random small talk saja. Tapi berkat itu, aku jadi berhasil adaptasi dan menemukan rutinitas yang stabil untuk atasi cucianku di Pagarsih ini๐ซถ.
Lebih dari itu, setelah kusadari lebih lanjut, Bapak laundry juga memberi banyak sumbangsih untuk tabungan 5 menit kebahagiaan yang aku kumpul setiap harinya (kalau kamu bingung apa maksudku, coba baca episode 9 ini ya๐๐). Tidak hanya itu, setelah kurenungi, sepertinya pengalamanku bersama Bapak laundry dan sepupuku dengan Bapak cireng ini juga sudah aku alami dari lama.
Memaknai the power of small talk dengan orang asing ini membuat aku teringat tukang cakwe mini di dekat tempat ngajarku dulu. Mang cakwe yang sampai sekarang cakwenya masih jadi cakwe mini terenak di hidupku❤️๐ฅ๐ฏ(aku suka banget cakwe mini, btw✌️). Small talk bersama Mang cakwe ini berhasil melepas banyak beban berat setelah ketemu anak-anak. Ketemu anak-anak ini—walau seringnya recharge energi—tapi tidak jarang juga energiku tersedot oleh hiperaktifnya anak-anak di kelas. Nah, Mang cakwe adalah pelarian pertama untuk aku mengeluhkan laku lampah aneh dan menggemaskan anak-anak hari itu๐ .
Lebih jauh lagi, aku teringat juga Mang cireng isi di MTs dulu (GOD PLEASE! KENAPA BANYAK BANGET CIRENG ISI DI HIDUP HAMBA๐ค, WKWKWK๐ญ๐). Karena MTs tempatku sekolah dulu itu jauh dari rumah, aku selalu harus nunggu lama berbagai sarana pulang seperti angkot Mahmud, jemputan, atau gojek. Nah, tempat tunggunya itu adalah roda Mang cireng tersebut.
Sampai-sampai, waktu aku pindah ke Cigondewah—yang mana tidak jauh dari MTs—bertahun-tahun kemudian, Mang cirengnya masih ingat aku๐ฅน❤️๐ฉน. “Ih neng dulu sekolah di sini ya? Cireng telor, bumbu asin, sama saos dipisah ya? Neng yang itu kan? Meni udah gadis, inget sama Mang ga?”, sapanya lebih dulu ketika aku kikuk duluan karena yakin Mang cireng pasti lupa sama aku—mengingat betapa banyaknya murid MTs yang ia ajak bicara dan lamanya waktu berlalu. Tapi ia masih ingat aku, tas besar di pundak, totebag berisi mukena dan sendal jepit, headset kabel yang selalu aku pakai, sampai angkot Mahmud yang selalu lama aku tunggu๐ฅน❤️๐ฉน❤️๐ฉน❤️๐ฉน.
Di luar dugaan, small talk skill yang awalnya aku kira hanya kemampuan basa-basi tidak penting—yang dibutuhkan dalam bersosialisasi—ternyata punya peran lebih besar dari itu:
- Small talk dengan orang asing itu bisa jadi sarana pelepas penat karena mereka adalah orang yang sama sekali tidak berinteraksi setiap saat dengan kita dan hal yang dibahas pun bukan hal berat tapi hanya angin lalu yang mudah terlupakan.
- Banyaknya small talk moment yang tertumpuk bersama seseorang bisa menjadi memori baru yang sangat dalam dan indah untuk dikenang suatu waktu.
- The art of noticing. Banyaknya topik-topik sederhana yang dibahas di small talk membuat orang mengingat detail sederhana dalam diri kita—yang bahkan tidak kita sadari. Lalu pada momen ia mengulas hal itu, 'rasa'nya sampai ke dalam diri kita dua kali lipat❤️๐ฉน. “Ko bisa dia tau, ya? Ko dia inget, ya? Padahal selama ini kita hanya ngobrol hal yang tidak penting.”.
Aku dan temanku di kantor sempat bahas tentang pentingnya punya small talk skill ini. Waktu itu kami sedang bahas salah satu senior di kantor yang jago banget small talk. Rasa-rasanya pertanyaan tidak penting bisa dia lontarkan dengan mudah dan unlimited. Ketika semua orang sedang hening di depan laptop masing-masing pun dia bisa tiba-tiba lontarkan pertanyaan “Siapa musisi Indonesia favorit kalian?”.
Kek๐คจ?
Tbtb๐คจ๐คจ?
Gak ada angin-gak ada ujan๐คจ๐คจ๐คจ? Wkwkwk.
Tadinya kami pikir itu hanya salah satu keistimewaan yang beliau punya. Tapi setelah ditelurusi lebih dalam, sepertinya itu adalah sebuah skill yang harus mulai kami latih untuk mencairkan suasana dan memulai keakraban bersama orang baru. Lalu hari ini, setelah memaknai small talk dari interaksi berulang bersama orang-orang asing, kurasa aku LEBIH HARUS lagi melatih small talk skill ini—mengingat banyaknya benefit jangka panjang yang didapat dari melakukannya bersama berbagai orang.
Kalau kamu? Adakah pengalaman tertentu terkait small talk ini? Atau malah punya cerita serupa? Hehehe.
Sekian, see you!

Komentar
Posting Komentar