Ilwis #15: Tipe Ideal

Hai! Apa kabar? Kuharap kamu baca ini dalam mood yang baik.

Semenjak tulisanku meluas entah itu dalam review atau medium, aku jadi terbiasa nulis sesuai naskah atau guide outline yang sudah dirancang sebelumnya. Di blog memang ga ada aturan khusus untuk seperti itu, tapi entah sejak kapan beberapa episode ilwis jadi pakai naskah juga. Termasuk episode kali ini. Aku udah buat outlinenya terlebih dulu sampai selesai dan barusan waktu baca ulang sebelum mulai nulis aku ngakak sendiri. Lucu aja karena dari sekian banyak hal, aku sampai juga di topik seperti ini. Wkwkwk dulu waktu pertama nulis ga kepikiran sekali bakal bahas hal seperti ini di blog yang tentunya sangat memungkinkan dibaca orang yang ga aku kenal juga. Topiknya adalah tipe ideal.

Wkwkwk aku gatau apa isi kepala si hidayat ini waktu kepikiran bahas topik ini di blog dan gimana sistem kepalanya waktu bikin outline itu, tapi lucu aja. Soalnya bahasan tentang mating game begini bukan aku banget dan aku juga pada dasarnya tidak begitu peduli dengan tipe ideal. Tapi akhir-akhir ini memang pemikiran tentang tipe ideal itu sering melintas di kepalaku karena obsesiku akan suatu daya tarik dari orang-orang tertentu. Sebelum ungkapkan daya tarik apa yang aku maksud itu dan apa kaitannya dengan tipe ideal, aku ingin coba ceritain dulu perkembangan tipe ideal dari aku mengenal apa itu istilah tipe ideal sampai sekarang. Kita akan sedikit nostalgia gemas, lets start!


Karena bukan merupakan istilah yang asing dan rumit, aku ingat sudah mulai bahas ini di SD. Walau tentunya hanya candaan antar teman, tapi aku inget sering ngobrolin ini waktu kecil dalam obrolan seperti “Tipe ideal kamu apa? Suka cowo yang kaya gimana?”. Waktu itu jawaban yang paling umum dikeluarkan cukup beragam mulai dari ganteng, baik, rajin solat, sayang orang tua, pinter, kaya, dan istilah umum lainnya. Wkwkwk kamu gitu juga ga sih? Seingetku dulu begitu.

Aku sendiri tidak begitu ingat pastinya apa tipe idealku, tapi aku inget dari kecil selalu bilang ingin cowo tinggi. Wkwkwk bahasan tentang cowo tinggi ini cukup kontroversial di hidupku karena itu masih bertahan sampai sekarang. Sebuah obsesi yang semakin berkembang seiring masa pendewasaanku dan berbagai lelaki yang aku temui dalam hidup, cowo tinggi masih jadi tipe ideal pertama yang ga bisa aku kesampingkan.

Selama bikin outline tulisan tentang tipe ideal ini aku sempat mencoba mengingat dengan keras tentang kapan tipe ideal ini mulai jadi pertimbanganku. Soalnya walau pun aku sering jelasin suka cowo tinggi karena aku cukup tinggi dibanding data rata-rata tinggi cewe di Indo, aku tetep bukan yang tinggi banget kek tiang listrik. Jadi kurasa itu hanya alasan tambahan, tetep ada pemicu lainnya untuk anak sekecil itu mengidamkan cowo tinggi.

Lalu, hasil dari menelusuri ingatan itu aku berhasil menemukan memori tentang pandanganku akan pasangan yang cowonya lebih tinggi dibanding si cewe. Pasangan itu adalah omku sendiri😭🙏. Aku tiba-tiba inget waktu kecil sering merasa tidak nyaman tiap melihat omku dan istrinya kalau lagi bareng, aneh karena omku lebih pendek. Bukan hanya tidak enak dipandang, tapi juga tidak memberikan kesan yang begitu baik. Mungkin karena berbeda dengan pemandanganku sehari-hari waktu kecil dulu dimana mamahku pendek dan bulat sedangkan bapaku tinggi dan bugar. Rasanya sejak itu aku mulai berharap punya pasangan yang lebih tinggi dibanding aku.

Lucu juga kalau mengingat bahwa hal itu menjadi doktrin sampai sekarang. Aku juga awalnya meragukan, “Toh itu cuma tipe ideal, siapa tau di lapangan ketemu cowo pendek juga tetep baper”. Tapi ternyata nggak. Bahkan sampai detik aku upload ini, aku belum pernah sekali pun baper sama orang yang lebih pendek dariku. Entahlah, mungkin ini doktrin yang tertanam terlalu lama atau hanya permainan psikologis, aku pun kerap heran. Tapi dengan demikian lah ‘cowo tinggi’ jadi tipe ideal nomor satu yang aku pertahankan sampai sekarang ketika nomor 2,3,4 dst terus berganti dan bisa dikesampingkan.


Perubahan pertama yang aku temukan dari menelusuri ingatan tentang tipe ideal ini adalah di masa-masa SMP, tepatnya waktu aku pertama kali bener-bener suka sama lawan jenis. Dulu beneran lagi di tahap cinta itu indah dan keseruan tersendiri dalam hidup —yang tentunya sekarang kusadari bahwa itu bagian dari pubertiku sebagai seorang remaja.

Di masa itu, tipe ideal keduaku (setelah tinggi) adalah cowo pinter. Wkwkwk aku ga begitu ingat pastinya kenapa tertarik sama cowo pinter, tapi mungkin karena itu masa-masa aku menikmati sekali proses belajar dan serunya sisi kompetitif dari dunia pendidikan jadinya cowo-cowo yang pinter, ranking, rajin lomba tuh keren. TAPI walau ngomong dan berharapnya begitu, kenyataannya itu hanya pemikiran ideal di kepala zia kecil. Soalnya kenyataan yang terjadi saat itu, cowo pertama yang aku suka —beneran suka dalam artian tertarik parah dan ada perasaan (walau dalam masa puber)— malah ga pinter sama sekali. Wkwkwk sebenernya aneh ketawa-ketawa sendiri begini, tapi aku juga dulu gatau kenapa bisa suka cowo itu ketika pada saat yang bersamaan menghayal suka cowo pinter.

Walau begitu, akhir cerita tetap berlabuh sesuai harapan. Soalnya aku beneran suka doang sama cowo itu dan malah berujung pacaran sama temen dia. Wkwkw pacar pertamaku adalah temen dari crush pertamaku dalam hidup. Lalu entah apa pula yang terjadi saat itu karena aku juga baru sadar waktu nulis ini bahwa ternyata tipe ideal saat itu works, soalnya pacar pertamaku beneran tinggi dan pinter. Tapi jangan bayangin orang yang pinter mampus, ngga. Cuma ya seenggaknya kalo dibandingin sama orang yang aku suka itu jelas pinter. Seenggaknya dia beneran belajar.

Ah! Iklan dikit, gara-gara nulisnya sambil banyak mengenang, jadi keinget tentang pacaran pertama dulu. Karena dua-duanya sama-sama baru pertama kali pacaran, ga ada referensi dan gatau harus ngobrolin apa, jadinya setelah sekitar sebulan pacaran dan kehabisan bahan ngobrol, kita kalo ketemu malah ngerjain tugas dan belajar bareng. Karena waktu itu dia kakak kelasku, jadinya aku banyak dikasih contekan dan bocoran soal gitu. Kebetulan SMPku dulu juga soalnya jarang ganti banyak dari tahun ketahun.

Lagi-lagi aku merasa aneh karena ngetawain ini sendirian. Walau gitu, dia ga akan baca kan? Tapi kalau baca pun, kuharap kita ngetawain hal yang sama. Soalnya entah kenapa ini beneran lucu banget buatku.


Perubahan selanjutnya yang aku ingat adalah di masa SMA. Kali ini juga aku tidak ingat kapan pastinya, tapi ada ingatan aku pernah sebutkan kalau tipe idealku selain tinggi itu adalah orang yang ngobrolnya nyambung. Sebenernya maksud dari ‘ngobrol nyambung’ ini pernah jadi topik pembicaraan juga sama temen kuliah, tapi jauh sebelum itu, aku udah ngomongin ini dari SMA. Aku ingat dulu pernah bahas ini sama kakakku, tentang sesusah apa menemukan orang yang benar-benar punya hobi sama dan nyambung ngobrolnya, serta segampang apa suka sama orang yang nyambung ngobrolin kesukaan yang sama.

Seingetku, obrolan itu berlangsung waktu kita pulang nonton dan kakakku cerita sesusah apa dia ngobrol sama cewe yang lagi deket sama dia hanya karena si cewe terlalu tidak relate sama segala hal yang kakakku sukai. Padahal cewenya sama-sama suka film dan ada film yang sama-sama mereka sukai, tapi pas ngobrol t6etep ga nyambung. Waktu itu kita coba diskusiin kenapa bisa hal itu terjadi, kenapa obrolannya bisa ga ngalir bahkan ketika topiknya sama. Dari diskusi itu kita mulai kompak untuk setiap kenalan sama orang baru atau suka sama orang, sebisa mungkin mulai dari cari satuuu aja kesamaan hal yang disukai. Hal itu kita lakuin supaya seenggaknya hubungan tuh jadi seru karena ada topik yang sama-sama kita sukai.

Begitulah awal dari ‘nyambung ngobrolnya’ sebagai tipe ideal nomor dua ini dimulai. Tapi, sejak saat itupun aku memang ga begitu peduli. Rasanya obrolan tentang tipe ideal ini masih hanya jadi topik pembicaraan sekilas, di lapangan tetep suka ga sukanya ikuti kata hati aja atau mungkin ada standar tertentu pun tidak ditetapkan secara pasti sebagai tipe ideal. terus begitu sampai masuk masa kuliah.

Di masa kuliah, topik tentang ‘nyambung ngobrolnya’ ini mulai jadi makin deep dan kompleks. Tepatnya ketika aku beneran ketemu orang yang ngobrolnya ga nyambung. Kali ini mulai lebih kompleks karena ini sudah bukan tentang kesamaan hobi, hal yang disukai atau sejenisnya, tapi beneran mulai ke arah cara berpikir, mengolah informasi dan komunikasinya aja yang memang ga nyambung.

Waktu itu aku ketemunya dalam bentuk cewe (jadi bukan orang yang disukai, tapi beneran rekan suatu projek. Aku ketemu dia sebagai temen prokeran di suatu organisasi. Yang aku rasain waktu itu bukan cuma susah banget buat tektokan ngobrol, tapi memang ketika aku bahas a, dia malah jawab b. Ini bukan tentang beda pendapat atau cata pandang gitu, memang ga nyambung aja. Soalnya beda pendapat tuh seenggaknya bisa dipahami kenapa beda pendapat dan keliatan gitu bedanya di mana. Sedangkan sama dia itu ketika sependapat pun kerasa banget bedanya. Sering ada momen di mana kita mikir “lah, kalo lu sama-sama setuju begini, kenapa ko ngomongnya begitu”.

Sejak ketemu dia, aku mulai coba banyak bereksperimen tentang komunikasi bersama orang sejenis itu. Sempet ketemu juga sama orang-orang yang beneran ga nyambung ngobrolnya denganku. Walau demikian, sampai saat itu pun aku masih belum kepikiran sama sekali tentang kaitan komunikasi itu dengan ‘nyambung ngobrolnya’ di tipe ideal. Baru kepikiran itu malah di jauh hari ketika aku beneran deket sama orang yang ga nyambung ngobrolnya.

Sebelum itu, aku ingin jelasin dikit tentang caraku PDKT sama orang. Aku tuh punya kebiasaan (lebih ke prinsip yang berusaha aku tepati juga) untuk ga akan bilang lagi deket sama seseorang ke siapa pun itu ketika orangnya memang ga bilang suka. Sedeket apapun kita waktu itu, walau sinyal kita lagi PDKT udah sangat jelas pun, bahkan kalau keadaanya aku suka dia juga, selama orang itu belum confess secara verbal perasaan dia, aku ga akan bilang kita deket. Ya cuma kenal, temen, atau sejenisnya. Aku tau ini sepele dan bukan hal penting, tapi buatku itu cukup krusial karena berbagai kesalahpahaman yang sangat mungkin muncul. Termasuk sama orang yang akan aku bahas ini.

Terlebih di sisi lain, karena aku tengah dalam perjalanan menjawab misteri panjang tentang ujenis manusia yang komunikasinya ga nyambung itu, aku cenderung cut off orang-orang dengan gejala tersebut. Cut off di sini bukan yang literal cut off orang dengan ngejauhin secara tegas atau secara verbal “Sorry kayanya aku gabisa (kerja, temenan, atau lakuin hal) bareng sama kamu soalnya kita ga nyambung”. Jelas bukan. Cut off yang aku lakuin di sini lebih secara pelan dan ringan mengurangi interaksi sama dia karena aku tau aku bakal cape sendiri dalam coba memahami orang sepertinya kalau terlalu banyak berinteraksi.

Wkwkwk makanya bayangin sekaget apa aku waktu deket sama orang seperti itu —atau lebih tepatnya waktu dia confess?!

KEK?! Di interaksi yang sangat sedikit ini? Ngapain??

Terlebih lagi, apa selama ini cuma aku yang merasa kita ga nyambung kalo ngobrol? Komunikasi yang buruk ini hanya dari sisiku aja kah?!

Begitu. Dari sana lah aku mulai lebih serius lagi pikirkan tentang komunikasi dan coba untuk memutuskan jadiin ‘nyambung ngobrolnya’ ini ke tipe ideal. Wkwkwk walau sebenernya tidak se serius kalimatku itu, tapi kurang lebih demikian yang terjadi saat itu. Mulai dipahami labih lanjut bahwa ‘nyambung ngobrolnya’ ini bukan lagi hanya tentang hobi yang sama atau ada kesukaan yang mirip, tapi beneran ngobrol dalam komunikasi. Jadi ‘nyambung’ di sini maksudnya ketika setidaknya ga paham isi obrolan, minimal kita sama-sama paham obrolan ini lagi mengarah kemana. Dari sini, jatohnya hobi tuh malah kejauhan. Wkwkwk sebelum jauh ke hobi yang sama, ngobrolnya dulu deh.


Lanjutttt, perubahan terakhir dari tipe ideal ini aku rasakan beberapa waktu belakangan. Tepatnya di sekitar paruh ketiga kuliah, ketika kuliah udah setengah jalan dan aku makin serius dengan kehidupan (ceilah). Di masa-masa ini, entah apa pemicunya, tapi aku mulai banyak tertarik dengan orang-orang yang paham betul apa yang ia suka, dan sibuk ngerjain hal itu.

Ketertarikan ini bukan spesifik aku temuin di pasangan atau lawan jenis, tapi secara umum. Malah timing aku menyadari ketertarikan ini tuh waktu magang, karena lihat banyak profesional yang ambisius sekali sama hal yang ia sukai. Aku mulai bisa ngeliat jelas mana orang yang bener-bener ngerjain yang dia suka —menyukai pekerjaannya, dengan orang yang yaudah kerja itu sumber mata pencaharian doang.

Pada waktu menyadari itu, aku juga menemukan kenyataan bahwa aku memang punya ketertarikan itu dari lama. Contohnya musisi-musisi favoritku. Aku tuh ternyata ga punya genre tertentu yang disukai dalam musik, bisa sangat random. Tapi ada satu kesamaan dari deretan musisi favoritku, yaitu mereka adalah orang-orang yang menciptakan musiknya sendiri dan sangat menikmati proses penyajian musik itu sendiri. Aku lebih banyak jatuh cinta sama musisi-musisi yang hobi jelasin seperti apa dia bermusik daripada musisi-musisi komersial yang lagunya asal banyak dan tujuan utamanya adalah dicintai banyak orang.

Sebenernya tentang kategori orang-orang seperti itu masih coba aku telaah lebih lanjut. Aku masih ingin banyak bereksperimen. Toh belum banyak kutemui juga orang seperti itu di sekitarku. Akan tetapi, beberapa waktu kebelakang, ditengah eksperimen dan research tentang hal itu, aku menemukan keinginan untuk jadikan ini tipe ideal juga. Wkwkwk mungkin ini jadi tipe ideal nomor tiga, atau akan menggeser nomor dua, aku juga tidak tahu. Yang jelas, aku mulai ada kebutuhan untuk pertimbangkan poin itu dalam mating game.

Lebih jelasnya lagi, hal ini aku alami beberapa waktu kebelakang di kejadian yang mirip dengan tipe ideal sebelumnya. Yap! karena deket dengan seseorang yang mengindikasikan tipe itu. Entahlah, sepertinya pengalaman nyata harus selalu jadi pemicu untuk aku pertimbangkan itu. Kali ini juga aku baru sadar setelah deket sama orang yang beneran cari cewe tuh karena kesepian dan dia terang-terangan sampaikan kalau pacaran tuh dia lakuin ketika mulai luang.

Dia jelasin bahwa dia baru ingin pacaran lagi tuh setelah hidupnya mulai sedikit lebih damai dan kesehariannya mulai kurang sibuk dibanding biasanya. Alasannya karena dengan begitulah dia baru bisa luangin waktu buat pacarnya. Sedangkan aku adalah tipe orang yang pacaran beneran karena butuh temen untuk nemenin segalanya. Karena aku klasifikasi temenku sesuai kebutuhan, pacar adalah pasangan yang ga aku klasifikasiin. Misal ke temen a aku bahas keluarga, ke temen b bahas masalah akademik dan lain sebagainya, ke cowoku aku akan bahas segalanya.

Contoh sederhananya demikian. Intinya aku bukan tipikal yang pacaran kalau idup mulai sepi. “Mulai luang nih, pacaran ah”, jelas ngga begitu. Makanya hal itu sejalan dengan ketertarikanku saat itu sama orang-orang yang passionate sama apa yang sedang ia kerjakan. Untuk alasan itu aku mulai pertimbangkan ‘orang yang sibuk’ sebagai tipe ideal.


Wkwkwk entah kenapa bahasan ini semakin random dan tidak terarah. Aku gatau bisa sepanjang ini bahas beginian. Ya kurang lebih begitulah perjalananku dengan tipe ideal yang banyak dibicarakan dan cukup seru untuk dijadikan bahan pembicaraan. Walau jika coba disimpulkan, ujungnya tipe idealku hanya ‘cowo tinggi’ tapi setidaknya ini jadi pembuktian bahwa banyak variasi tipe ideal yang bisa diharapkan orang-orang selain hal-hal umum dan basic seperti contohku di awal.

Sekian, see you!

Komentar