Ilwis #16 : Dunia Profesi

6 Agustus 2025, pukul 9 malam.

Hai! Apa kabaaaaaar?

Aku baru pulang berkegiatan hari ini dan sedang duduk di hadapan laptop dengan muka lesu, ngantuk, dan energi yang sudah di ujung batasnya karena hari ini dipenuhi interaksi sosial dari pagi sampai malam😮‍💨. Tapi alih-alih istirahat dan tidur, aku memilih untuk buka laptop dulu sebentar. Niatnya sih ingin beresin sedikit sisa kerjaan sambil nunggu mood mandi, tapi malah berujung distraksi baca blog sendiri setelah sekian lama terlupakan🥲✌️.

Aku baca dari episode terbaru sampai episode 13 (salah satu episode legend karena insight yang tidak terduga). Selesai baca aku cuma terpikirkan satu hal, “ga bisa nih, aku harus nulis🤔”. Oleh karenanya aku close semua kerjaan itu dan buka draft untuk mulai nulisin semua isi kepalaku barusan. Akhirnya hilang semua ngantuk dan lelah seiring bertambahnya kemageran untuk mandi ini. Gapapa, aku janji mandi abis ini, kalau ga mandi, ini ga akan aku up (mengancam diri🤝).


Di episode sebelumnya aku opening dengan berkeluh karena aku nulis sesuai guide outline mulu —bahkan untuk blog yang aku harapkan tidak usah sekaku itu. Oleh karena itu, pada episode kali ini aku coba challenge diriku untuk nulis tanpa guide outline, maping ide, atau bahkan secuil kotretan, apapun itu. Aku hanya akan nulis mengandalkan kepala yang penuh ini. Wkwkwkw kesannya itu hal yang baru dan menantang, padahal dari pertama nulis juga ente memang begitu hidayat🙄(nada kesel ke diri ini).

Oke, aku ingin mulai cerita dari kenapa isi kepalaku penuh sekarang. Alasannya adalah karena aku baru pulang dari rangkaian kegiatan evaluasi di kantor yang sudah berlangsung selama dua hari. Tadi sore sebelum pulang, salah satu atasanku bilang sesuatu waktu lagi tanya-tanya insight apa saja yang didapatkan dari rangkaian kegiatan hari ini, katanya “boleh bikin igs atau apa gitu yang isinya ceritain apa aja insight hari ini”. Jujur aku mau banget😫, aku mau banget nulis semua insight itu, tapiiiii terlalu buanyakkkkkkkkk. Terlalu buanyak untuk dibahas satu persatu dan terlalu personal untuk aku bagikan di sini🥲. Jadi dibanding berbagi insight, aku lebih ingin luapkan isi kepalaku atau sisa-sisa pikiran yang masih belum terluruskan setelah selesai dari rangkaian kegiatan dua hari ini.


Pertama, tentang tekpend (prodiku). Sebelum itu, info dikit; akutuh baru satu bulan kerja di perusahaan ini. Aku masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan yang baru. Tapi, hari ini aku menyadari bahwa sepertinya yang adaptasi bukan hanya aku, tapi orang-orang di sekitarku juga. Sama seperti aku yang masih dalam proses mengenal lebih dekat seperti apa perusahaan ini, orang-orang di kantor juga sepertinya sedang mencoba mengenal prodiku ini. Lucu saja mengingat berbagai kesalahpahaman yang terjadi karena orang-orang masih asing dengan prodi ini. Bahkan tadi pagi, aku hampir saja diminta benerin gangguan di layar presentasi karena kata “teknologi” di prodiku😅.

Tentunya aku sangat memaklumi hal itu. Jangankan orang lain, aku sendiri saja salah paham waktu pertama kali denger prodi ini. Andai saja waktu milih prodi aku ga cek mata kuliah prodinya terlebih dahulu, bisa-bisa aku tolak mentah-mentah tawaran temenku untuk pilih prodi ini. Memang benar kata “teknologi” ini amat sangat menjebak untuk kami yang belajar kurikulum dan media pembelajaran. Begitu juga untuk kami yang outputnya jadi fasilitator pendidikan ini, sepertinya output sebagai guru TIK lebih mudah dipahami dan diterima oleh khalayak🥲.

Hal ini semakin menjadi-jadi setelah aku baca episode-episode ilwis sepulang tadi. Alasan kenapa aku berhenti baca di episode 13 karena itu adalah episode tentang prodi ini. Aku lupa kenyataan bahwa aku pernah secara detail jelaskan tentang tekpend di blog. Bahkan itu adalah tulisan sebelum aku nulis di Medium😯. Wkwkwk lucu saja karena aku lupa pernah bikin penjelasan prodi tekpend versi mahasiswa smt 5 —yang bahkan dikasih judul “Tekpend 101”. Kalau saja inget, dari kemarin udah aku share link tulisan itu di grup kantor supaya tidak susah payah menjelaskan lagi dan lagi tentang apa saja yang aku pelajari di kampus.

Tapi aku sendiri pun selama baca itu jadi tercerahkan. Wkwkwk aku juga sepertinya mulai sedikit melupakan apa saja yang udah aku lalui di tekpend, termasuk bagian paling dasar tentang alasan, semangat, atau tepatnya sedikit api kecil yang aku bawa ke bangku kuliah di tekpend. Yap! Tentang ngajar dan masalah-masalah pendidikan yang menggangguku dulu. Hal itu yang mengarahkanku ke pikiran kedua.

Pikiran kedua, tentang profesi. Dari sekian banyak insight yang aku dapatkan selama kegiatan dua hari ini, salah satu yang paling runyem di kepala adalah tentang profesi. Terutama hari ini ketika aku mengikuti sesi internal training yang disampaikan Kang Harri (founder HCR.ID) tentang High Performance Individual (HPI). Tulisan ini akan terlalu panjang kalau aku detailkan tentang apa saja yang dilakukan dalam sesi itu dan jelaskan semua insight yang aku dapatkan darinya. Sekarang ini aku hanya akan highlight tentang profesinya saja😉.

Sebetulnya rangkaian sesi internal training tentang HPI ini lebih mengarahkan kita untuk mengenal dan memetakan diri secara menyeluruh. Aku juga coba menyelesaikan setiap rangkaian dengan sudut pandang yang lebih luas. Akan tetapi, dari semua aspek kehidupan yang diangkat di sana, aku paling banyak merenung tentang profesiku kemarin, hari ini, dan besok nanti.

Di episode 13 tentang tekpend 101 itu, aku sempat jelaskan kalau aku awalnya sedikit menyayangkan masa kecilku yang langsung icip dunia mengajar jauh sebelum aku sempat explore profesi-profesi lain untuk ditekuni di masa depan. Aku menekuni profesi itu cukup lama, dari ngajar yang diawali oleh inisiasi atau dorongan orang sekitar, sampai ngajar yang dimulai karena inginku sendiri. Semua itu terhitung cukup lama untuk pada akhirnya aku memutuskan sepenuhnya berhenti dari profesi itu tahun lalu.

Aku berhenti ngajar untuk fokus menekuni profesi yang sepenuhnya dilakukan atas inginku, yaitu nulis. Walau sebelumnya aku sempat coba ngajar yang diawali atas inginku sendiri juga, tapi aku punya hal lain yang lebih aku inginkan sebagai profesi. Aku memang seneng ngajar, aku bahagia ketika anak-anak paham apa yang aku jelaskan, tapi lebih dari itu aku punya hal lain yang aku senangi. Aku lebih seneng dari ngajar ketika aku nulis. Aku jauh lebih bahagia lagi ketika ada orang yang mendapatkan pemahaman dari membaca tulisanku😬.

Di lain sisi, aku juga punya hal lain yang sudah terlanjur dimulai tapi belum sepenuhnya bisa aku tekuni, yaitu kuliah🥲. Selama dua tahun pertama kuliah sambil ngajar, aku selalu jadiin kuliah itu nomor dua setelah ngajar. Tugas dan pembelajaran di kampus selalu tidak lebih banyak menguras waktuku dibanding anak-anak😓. Sampai akhirnya kuliah sudah setengah jalan, tapi aku masih belum sempat meluruskan pemahamanku di tekpend dan menentukan langkah yang akan aku ambil dari keilmuan ini. Oleh karena itu aku memutuskan untuk berhenti ngajar dan menggeser prioritas kuliah itu ke nomor satu.

Selesai berhenti ngajar, aku segera menyelesaikan misi yang tertunda dari dimulainya journey kuliah ini. Aku mulai dari menuangkan pemahaman mengenai keilmuan ini melalui hal yang paling aku senangi, nulis. Aku mulai mengonsep halaman baruku di Medium, mengumpulkan berbagai data yang sudah aku dapatkan selama belajar di tekpend untuk dituangkan kedalamnya, dan mulai merenungi profesi apa yang ingin aku tekuni nantinya dari prodi ini🤔.

Nah, ditengah perjalanan mengarungi journey itu, awal tahun ini aku mulai magang di balai pelatihan. Momen itu membuat aku —untuk pertama kalinya— mulai mencicipi profesi lain, bukan karena dorongan orang luar (seperti ngajar), bukan juga hanya dilandasi kesenangan pribadi tanpa dasar keilmuan(seperti nulis), tapi benar-benar profesi yang sudah aku pelajari kompetensinya selama 5 semester pertama di bangku kuliah😆. Aku memulai itu dengan ekspektasi dan semangat yang tinggi karena paham betul bahwa kali ini aku ga akan full ngang ngong ga paham sama apa yang sedang aku lakukan (seperti ngajar), atau penuh cemas dan hilang percaya diri karena belum kompeten (seperti nulis), tapi akan sepenuhnya bekerja sesuai kompetensi yang aku punya dan siap untuk berkontribusi semaksimal mungkin kemampuanku itu💪.

  • Lalu, apa hasil akhir dari ekspektasi dan semangat itu?

Buanyakkk! Wkwkwkwk saking banyaknya, aku ketagihan😅. Sepertinya 4 bulan percobaan menekuni profesi sebagai learning designer yang kompetensinya sudah aku pelajari di kelas itu belum cukup. Aku masih haus dan semangatnya masih tersisa. Oleh karena itu, segera setelah selesai magang, aku langsung aply lagi ke perusahaan serupa sebab aku masih ingin menguji kompetensiku sendiri, aku masih perlu mengukur potensiku di bidang ini. Bedanya, kalau balai pelatihan sebelumnya adalah pelatihan vokasi yang mengangkat pembelajaran teknis berupa hardskill, kali ini aku mencoba training center yang pembelajarannya berbentuk softskill.

  • Pertinyiinnyiiiii🤔, apakah aku mendapatkan hal lain dari menekuni profesi yang sama (learning designer) di dua tempat yang fokus pembelajarannya berbeda?

Ya tentuuuuuu! Aku mendapatkan banyak hal —terutama karena ini softskill— alih-alih merancang pembelajaran untuk peserta, aku lebih banyak belajar untuk diriku sendiri karena softskill yang di angkat juga merupakan softskill yang aku butuhkan😅. Jadi, kalau sebelumnya aku cukup merancang pembelajaran dengan memastikan instructional flow dari program pelatihan yang dibuat sudah sesuai dan menyerahkan materi pembelajarannya kepada para instruktur teknik yang lebih paham, kali ini tidak bisa. Pada softskill, aku mau tidak mau harus memahami setiap materi pembelajarannya untuk bisa meramu pembelajaran yang tepat bagi program pelatihan yang akan dilaksanakan.

Bahkan hari ini! Salah satu kegiatan dari internal training hari ini adalah mencoba memainkan board game yang biasanya dijadikan salah satu sesi pembelajaran untuk peserta pelatihan. Jangankan aku yang baru dan cupu ini, senior dan atasanku di kantor yang seharusnya sudah paham secara menyeluruh dan matang sekali akan game itu, tetap mendapatkan banyak insight dari games itu. Dari situ aku sadar se abstrak dan deep apa materi-materi tentang soft skill ini.


Last!!! Isi kepalaku yang ketiga adalah tentang next step. Perenungan tentang profesi itu terus berlanjut selama aku mengikuti internal training hari ini. Sebab selama mengisi canvas pelatihan, aku dibuat berulang kali mengulas kembali berbagai hal termasuk tentang dunia profesi ini. Selama menekuni profesi learning designer, ada beberapa hal yang aku temukan dari diriku, hal-hal yang harus dihilangkan, diperbaiki, dan/atau dipikirkan kembali. Salah satunya adalah tentang kesenanganku dalam menulis dan apa dampaknya pada profesi yang akan aku tekuni nanti (setelah lulus).

BTW aku dulu magang berdua sama temen sekelasku di tekpend. Dia tuh suka gambar, sama seperti aku yang menyalurkan kesenangan menulis ini lewat konten-konten tulisan di blog dan instagram ashahala, temenku juga rajin bikin berbagai konten dari hasil gambarnya. Nah, cerita sedikit, di tempat magangku itu ada spot ayunan gitu yang pw banget buat dipake ngobrol sambil nyemil-nyemil sore. Aku sama temenku itu sering duduk di sana sepulang magang untuk ngobrolin berbagai hal, salah satunya tentang kesenangan kita yang sedikit jauh dari dunia pendidikan. 

Banyak kesamaan dari menggambar dan nulis untuk kita. Kita sama-sama jadiin kesenangan ini sebagai hobi —bukan profesi karena berbagai hal yang menghambat jalannya hobi ini sebagai sebuah profesi jika nantinya kita tekuni. Hal itu bikin kita sama-sama memutuskan pada akhirnya untuk tidak menggantungkan mata pencaharian pada hobi ini dan mulai mencari kawasan-kawasan di tekpend yang bisa kita tekuni nantinya sebagai sebuah profesi —kebetulan tekpend belajar segala, jadi banyak opsi juga😅.

Berbagai obrolan dengan temenku itu —entah bagaimana alurnya🥲— juga membuatku sampai di suatu kesimpulan abstrak tentang kesenangan menulis ini. Aku paham sekali se senang apa diriku ketika menuangkan isi kepala ke dalam sebuah tulisan, juga mengolah ide dan konsep ke dalam sebuah kerangka tulisan. Tapi di lain sisi, aku juga paham betul kurangnya kompetensi yang aku miliki dalam menulis. Hal itu yang bikin aku sampai pada kesimpulan, kayaknya “nulis” ini basic skill yang harus dimiliki semua orang. Tidak ada yang spesial dari kegiatan dan mimpiku ini selain rasa senang dalam melakukannya😓.

Semenjak itu, aku jadi banyak menciut tentang nulis dan mulai lebih semangat dalam menekuni journey icip profesi learning designer —termasuk pada momen menyalurkan semangat itu yang mengantarkanku ke perusahaan tempatku kerja sekarang😅. Sebetulnya aku bukan yang sepenuhnya memutuskan berhenti nulis atau bagaimana, hanya api kecilnya sedikit berkurang saja karena perasaan hopeless dari dunia profesi di bidang kepenulisan. Hal itu terus berlangsung sampai akhirnya kemarin aku bertemu momen yang cukup menampar keras dan menyalakan sedikit sisa api yang ada🥲👉👉.

Di hari pertama rangkaian kegiatan evaluasiku kemarin, salah satu atasanku ada sedikit mengulas kinerjaku satu bulan ini dalam mengerjakan salah satu projek divisi. Sedikit informasi, jadi di divisiku itu ada projek menulis buku yang aku kerjakan. Salah satu jobdesc nya adalah merekonstruksi buku lama yang sudah ditulis oleh Kang Harri (yang tadi aku mention di awal). Pada saat mengulas itu, atasanku menjelaskan apa yang beliau pikirkan waktu lihat aku diskusi dengan Kang Harri mengenai rekonstruksi buku lama itu. Beliau menjelaskan gambaran di kepalanya saat aku mendiskusikan buku itu dan beliau bilang, mungkin suatu hari nanti client-ku bukan cuma Kang Harri🥹. Sedikit penjelasan dan satu kalimatnya tersebut menamparku cukup keras sore itu, sedikit api yang padam beberapa waktu lalu, mulai menyala lagi🥹🥹(walau masih secuil🤏).

Selama satu bulan pertama mengerjakan projek buku itu, aku tidak pernah sekalipun memposisikan diriku sebagai content writer. Aku tidak pernah coba duduk di kantor sebagai emaknya calala, aku selalu duduk sebagai anak tekpend yang dapet mata kuliah Pengembangan Bahan Ajar (PBA) di semester 4. Bahkan Kang Harri sendiri sempet nanya aku dapet keilmuan untuk bedah buku ini dari mana, aku jawabnya dari kampus karena belajar PBA itu. Walau sebenernya kalau dipikir lagi, itu gak sepenuhnya bener😓.

Temen-temen kelasku pasti masih inget se ga jelas apa matkul itu dulu karena dosennya adalah kaprodi lama yang super sibuk dan asdosnya adalah dosen yang jarang masuk —yang sekarang juga jadi kaprodi. 70% keilmuan PBA ujungnya aku cari sendiri lewat latihan bedah buku di perpus, berbagai genre aku bedah dan telaah isinya untuk tahu bagaimana setiap author menyampaikan instructional flow dari buku mereka. Aku lakuin itu karena PBA itu satu-satunya matkul yang align dengan kesenanganku dalam menulis🥹.

Oleh sebab itu ulasan atasanku itu jadi cukup menampar karena gambarannya atas diriku membuatku sadar; mungkin selama sebulan ini aku ga sepenuhnya kerjain itu pakai kompetensi dari PBA aja, tapi juga kesenangan dari nulis di ashahala. Bisa jadi kemampuan untuk rekonstruksi buku itu bukan hanya berasal dari kompetensi PBA tapi juga dari framework yang aku dapat dan kumpulkan selama trial n error berbagai konten review, artikel, atau bahkan blog.

Aku menjadi semakin yakin dengan pemikiran itu setelah coba mengulas kembali prosesku ketika kerjakan hal itu. Ngonsep buku yang akan dijadikan modul pelatihan softskill itu bukan hal yang mudah untukku😓. Pahami materinya aja cukup nguras waktu dan energiku, tapi entah kenapa aku seneng aja ngerjainnya dan itu berbanding terbalik dengan kerjaan lainnya dari profesi learning designer yang aku coba. 

Biasanya, ngerjain kerjaan ke-tekpend-an tuh sama kaya ngajar untukku. Aku seneng tuh karena aku bisa. Aku dulu seneng ngajar ya karena aku ketemu anak yang paham dengan penjelasanku. Begitu juga dengan tekpend, aku seneng ngerjainnya ya karena aku belajar kompetensi itu di kelas dan akhirnya itu dipergunakan dengan tepat. Sedangkan ngonsep buku ini malah lebih mirip nulis review di feed calala, bisa ga bisa juga aku tetep seneng. Aku tuh sering stres tiap nulis bagian sinopsis untuk review di feed calala, sesusah itu karena aku lebih sering malah nulis spoiler dibanding sinopsis🙏. Tapi aku seneng ketika pusing nulis itu. Gitu juga dengan ngonsep buku ini. Pahami materi soft skill seperti core value, respon, performance, corporate culture, dll ini bikin kepalaku mau meledak setiap hari. Aku selalu cape dan pusing ngerjainnya, tapi makin pusing malah makin seru😅. Wkwkwk begitulah.

Balik lagi ke penjelasan atasanku itu, tamparan yang aku rasakan itu lanjut diikuti api kecil yang menyala lagi, tentang dunia profesi yang aku sampaikan sebelumnya. Ucapan atasanku tentang kemungkinan suatu hari aku akan punya berbagai client yang datang dengan bukunya bikin aku sedikit berharap kembali bisa punya profesi dari dunia menulis yang abu ini. Mungkin nanti aku bisa ketemu profesi yang jadi titik tengah antara kesenanganku di dunia sastra dan jurnalistik dengan kompetensi akademikku di dunia pendidikan🥹.

Hehe, itu hanya sedikit harapan dan api kecil. Toh perjalannya masih panjang, journey icip profesi learning designer juga belum selesai, jadi aku masih punya waktu untuk terus coba dan renungi profesi lain.

Yap! Begitulahhh tiga isi kepala yang penuhi pikiranku tadi. Setelah di coba, ternyata aku masih bisa nulis tanpa guide outline. Waktu masih di kepala, kukira aku akan bahas tiga hal yang berbeda. Ternyata setelah dituangkan ke dalam tulisan, ketiganya sama-sama bahas dunia profesi.

Yasudah, sekian ceritaku di episode kali ini. Sekarang udah jam 2 pagi dan aku udah 4 kali lipat lebih ngantuk dibanding detik petama buka draft ini. Jadi lebih baik aku segera mandi dan tidur. Draftnya aku edit dan up besok pagi saja.

Sekian, see you!!

Komentar