Ilwis #17 : Jurnal Syukur

Hai! Ini adalah halaman ke 845837456478 yang aku buka di draf blog belakangan ini dan mungkin jadi percobaan terakhir yang harus kupastikan upload. Wkwkwk tahun ini aku sering sekali muncul ide bahasan, menggebu-gebu ingin tuliskan sesuatu, atau cuma iseng kangen menulis dan buka draf untuk menulis. Tapi, tidak ada satu pun yang upload—kecuali episode 16 lalu itu. Bahkan, episode 14 dan 15 itu sebenarnya tulisan lama yang impulsif aku upload begitu saja.

Alasan semua itu terjadi karena aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk hal lain, rasanya menulis untuk blog bukan jadi prioritasku lagi. Tapi, kali ini aku ingin menulis sampai selesai sebagai penutupan dari sebuah journey yang cukup padat dan singkat ini. Terlebih, ini bucketlist-ku juga untuk menghadiahi diriku satu hari untuk bermanja sama laman tulisku seharian—segera setelah selesai journey ini.

Journey ini adalah sebuah eksekusi dari mimpi anak kecil yang asbun (asal bunyi) dan randomly bilang di masa kecilnya kalau ia ingin namanya ada di sebuah buku. Anak SD yang merekam momen duduk di sebuah kursi bersama dua orang teman dan satu buku IPA terbitan Erlangga yang terbuka di sana—yang di pojok halamannya ada kotak kecil berisi informasi nama ilmuwan. Sekotak kecil dan nama—yang bahkan aku lupa siapa—itu bikin anak kecil tersebut sontak bicara “Ini dia sudah mati ya? Anak cucunya pasti bangga. Aku juga ingin deh kaya gitu”. Ia ingin anak cucunya nanti melihat ada namanya di buku pelajarannya.

Random momen dan asal bicara anak itu yang terekam jelas menjadi sebuah mimpi dan perjalanan hidup yang tumbuh sebagai aku sekarang.

Sebuah mimpi yang membuat aku melangkah dengan pijakan pasti setiap harinya. Mimpi kecil itu yang dulu mendasariku untuk mencita pada matematika dan ingin jadi scientist karena pendek pikirku kalau perwujudan mimpi itu harus jadi ilmuwan—seperti pada kecil nama ilmuwan di pojok buku erlangga tersebut. Sebuah cita yang gugur setelah perjalanan yang cukup panjang.

Mimpi itu juga yang mendasari bertumbuhnya cita yang baru dari menulis. Beda dari matematika yang citanya dimulai dari orang tuaku—dari arah dan harap mereka, menulis ini datang dan tumbuh dari diriku sendiri. Dari isengnya aku dan temanku di SMP dulu untuk mulai latihan menulis esai supaya di SMA nanti bisa ikut study exchange melalui journaling menulis setiap harinya. Iseng itu yang mengantarkanku pada sebuah perjalanan panjang di kepenulisan; yang mengantarkan aku bikin blog ini, menulis ratusan k-drama review, mencicip huru-hara dunia jurnalistik, menulis artikel pendidikan di Medium, dan lain sebagainya. Sebuah perjalanan panjang yang bahkan belum selesai.

Aku masih punya banyak langkah yang ingin kuselesaikan di peta perjalanan ini. Peta perjalanan yang didalamnya terkandung mimpi ini pada beberapa langkah, juga peta perjalanan yang diujung jalannya ada cita besar dari diriku yang terus tumbuh dan berkembang seiring waktu. Aku masih terus berjalan dan menandai setiap langkah yang sudah selesai—begitupun besok, lusa dan kedepannya.

Tapi… beberapa bulan kebelakang, ada sebuah journey yang jump in menyela langkah perjalananku itu. Sebuah journey yang ada pada salah satu langkah dalam peta perjalanan tersebut, tapi tidak sekarang. Saat ini aku masih ada di langkah yang jauh sebelum itu, masih berproses pelan menyusuri setiap jalan dalam peta tersebut. Tapi, journey itu menyela, memberi sela dan celah untuk aku eksekusi mimpi anak kecil yang asbun dan randomly tangkap momen itu lebih cepat.

Sebetulnya, kalau perwujudan mimpi itu hanya asal namaku tertulis di sebuah buku seperti cita awalnya, mimpi itu harusnya sudah terwujud dari lama. Tapi, euforia sepanjang mimpi itu bertumbuh yang membuatku menempatkan langkah eksekusi mimpi itu menjadi perjalanan jauh pada peta tersebut. Makanya, journey yang menyela ini jadi lebih sesak dan pengap dibanding seharusnya, karena ada banyak euforia yang hidup dalam mimpi itu.

Journey ini terbagi jadi tiga proses perjalanan; penyuntingan, penerbitan, dan peluncuran.

1. Penyuntingan.

Aku menyelesaikan proses ini selama satu setengah bulan. Dari bedah naskah lama, konsepsi naskah baru, eksekusi penulisan naskah baru, sampai proses editing. Satu setengah bulan pertama ini jadi proses yang paling menguras pikiran. Mungkin bahkan bukan hanya menguras, aku sampai benar-benar kuliti isi buku dan kepala ini. Alasannya karena sebagai buku seorang trainer, aku bahkan belum pernah ikut training materi buku ini. Aku belum paham materinya dan kekurangan bahan juga untuk paham. Tapi… itu seru. Terlepas dari semua rasa itu, perjalanan itu seru. Terutama proses bedah dan konsepsi naskah baru itu seru banget. Merekonstruksi sebuah konsep yang sudah diramu dengan sangat epic menjadi struktural untuk msudah dipahami itu serrru buanget.

2. Penerbitan.

Duh… ini… proses ini yang paling melelahkan dan menguras energi. Dinamika emosi di proses ini cukup signifikan karena banyak orang terlibat, banyak kepala ikut berpikir, dan banyak pihak ikut mengeksekusi. Penerbitan ini juga memakan waktu satu setengah bulan, di luar dugaan ternyata bagian pelengkap buku itu banyak sekali. Dari prakata, overview buku, testimoni, ucapan terimakasih, profil penulis, sinopsis buku, sampai berbagai proses pengemasan visualisasi buku seperti ilustrasi dan layouting yang memakan waktu cukup panjang. Tapi… aku belajar banyak di sana. Dari setiap pihak terlibat itu, aku belajar cukup banyak. Aku jadi mengenal alur penerbitan buku, memahami eksekusi visual buku, dan ingin belajar cara layouting buku nantinya.

3. Peluncuran.

Sebenarnya ini additional process yang menyempurnakan perjalanan buku ini, tapi tetap akan aku ceritakan. Proses yang ini sebetulnya paralel dengan dua proses sebelumnya, tapi secara khusus mulai fokus di siapkannya itu dalam dua minggu—yang lebih khususnya lagi hanya tiga hari. Jobdesc-ku di peluncuran ini adalah sebagai bagian dari team Talent Officer. Ada dua proses yang aku highlight selama jadi TO, pertama penyiapan talking point di pre-event dan menjadi crew event di hari H. Proses penyiapan talking point ini sebenarnya cukup seru untukku karena aku bisa eksplorasi 4 orang berbeda dengan profesi dan keahlian masing-masing untuk ikut mengenalkan isi buku ini ke publik sesuai dengan apa yang aku ingin publik paham tentang buku ini. Tapi lebih dari itu, proses ini cukup menguras energi dan seisi kepalaku juga karena harus dikerjakan H-4 event ini. Lebih lagi, yang butuh talking point ternyata bukan hanya 4 narsum, tapi juga talent lainnya.

Nah, berbeda dengan itu, proses menjadi crew event di hari H malah jadi kegiatan yang sama sekali berbeda. Walau event ini menjadi additional process dari journey itu, tapi, proses penyiapan talking point sebagai salah satu jobdesc ku di crew itu tetap ada kaitannya dengan buku. Jadi rasanya aku masih pada keterlibatanku dalam buku. Sedangkan menjadi crew event di hari H itu jadi proses yang terpisah. Seharian itu aku bener-bener jatuh dalam keseruan EO-ing hari itu. Sedikit backstory, aku dan teman-teman di SMA tuh seneng organize event gini sampai sempat mimpi bareng ingin bikin EO bareng untuk jadi sidejob Ketika jadi mahasiswa dan mimpi itu terlupakan. Makanya, dari pertama kali ketemu event planner di venue sampai eksekusi di hari H, zuzur saza hatiku berdebar-debar. WKWKWK jadi super exited karena nostalgia keseruan sama teman-teman dulu. Jadi tidak bisa dipungkiri, walau fisikku lagi down sekali hari itu karena tidak tidur berhari-hari dan tidak makan seharian itu, secara psikis aku sedang sangat seru dan exited akan semuanya.

Aku senang juga bahwa event itu yang menutup tiga proses journey ini. Untuk ituuuuuuu, sebelum mulai evaluasi diri dari berakhirnya journey ini dan kembali ontrack ke peta perjalananku, aku ingin membuat jurnal syukur dulu di sini. FYI, jurnal syukur itu adalah habit di kantor HCR untuk memulai briefing pagi, di mana isinya adalah penyampaian hal yang disyukuri oleh setiap orangnya. Itu sebabnya aku memberi judul “Jurnal Syukur” untuk episode kali ini karena aku ingin mulai menutup journey ini dengan ucapan banyak terima kasih pada orang-orang disekitarku yang sudah terlibat:

  • Teh Opie dan Kang Teguh—yang membuka gerbang untuk journey ini menyela langkah prosesku dalam peta.

Berawal dari ajakan Teh Opie untuk meeting di rumahnya pada hari kedua aku ada di HCR. Meeting untuk pengenalan divisi dan penentuan jobdesc itu jadi awal dari sebuah journey hanya karena kalimat sekilas Teh Opie setelah baca CV dan Portofolioku, “Kalau Zia seneng nulis, sebenarnya kita punya modul juga, boleh coba Zia kembangin.”. Modul yang dimaksud waktu itu bukan buku yang sekarang dibahas, tapi berkat itu jalan jadi terbuka seperti ini. Terima kasih banyak, Teh.

Begitu juga Kang Teguh yang mengizinkan untuk aku menyelesaikan buku ini—bahkan setelah waktuku di HCR habis. Lebih dari itu, beliau juga jadi orang yang paling concern dengan kesejahteraanku. Selalu mempersilahkan aku untuk eksplorasi dan berkembang semaksimal mungkin. Bahkan, dukungannya bukan berhenti di journey ini saja, tapi untuk langkah lain dalam peta perjalanan ini juga. Terima kasih banyak, Kang.

  • Kang Harri—yang mengizinkan bukunya diubrak-abrik.

Mempersilahkan masterpiece konsepnya diolah oleh mahasiswa yang belum rampung kompetensinya ini adalah resiko besar yang Kang Harri pertaruhkan. Anak yang bahkan belum pernah ikut training materi ‘HCR’, bahan materinya cuma buku lama dan sesi Kang Harri di boardgame—itupun hanya secuil dari padatnya konsepsi dalam buku ini. Aku baru lihat full materi ‘HCR’ pun setelah buku ini selesai diedit, lebih tepatnya pada detik-detik terakhir buku siap cetak. Itu sebabnya aku bilang proses penerbitan itu yang paling menguras energiku secara emosional karena di momen aku baru lihat full materi ‘HCR’ dalam training itu aku baru menemukan banyak benang merah yang sebelumnya kusut di kepala. Tapi apa daya? Bukunya harus segera cetak. Jadi diterima begitu saja. Walau begitu, walau kurangku masih sebanyak itu, Kang Harri masih percayakan buku itu padaku. Terima kasih banyak, Kang.

  • Kang Awe dan Kang Rayhan—yang sudah mengemas buku dan book launch menjadi se-epic ini.

Dua orang yang paling banyak aku recokin di tiga proses journey itu. Huhu, bahkan kalau diingat lagi beliau-beliau ini yang paling sering make sure bagaimana load kerjaku dengan tanya “Aman, zi?”.

Jadi orang yang paling sering setuju denganku di proses penerbitan yang melibatkan banyak orang itu, Kang Awe selalu jadi back-up kalau aku mulai terbata-bata sama apa yang ingin disampaikan. Bisa ikut konsepsi visual buku dari ilustrasi, grafik, cover, sampai layout dengan kreativitas beliau yang selalu mindblowing itu jadi point paling seru dari ruwetnya proses penerbitan yang panjang itu. Terima kasih, Kang. Begitu juga Kang Rayhan yang sudah banyak back-up tugasku di luar buku dan selalu kasih jawaban yang solutif untuk setiap pertanyaanku. Terima kasih, Kang.

  • Kak Rendi dan Teh Nisa—yang sudah jadi “teman” di journey ini.

Maniak buku yang jadi mentor utamaku dalam kepenulisan ini sebenarnya sudah ada dari sebelum journey ini mulai menyela. 2023 lalu sejak beliau menemani aku mulai eksplorasi skill membedah buku, Kak Rendi jadi orang yang paling exited dengan buku pertama yang aku edit. Aku baru kabari tentang journey ini satu bulan sebelum bukunya terbit dan muka kagetnya hari itu masih terekam jelas dikepalaku. Untuk semua apresiasi dan rasa bangga itu, terima kasih, Kak.

Lalu Teh Nisa, inikah yang disebut teman seperjuangan?? WKWKWK. Kalau ada yang tanya kemana perginya keluh kesah, ruwet emosi, dan kusut pikiran dari padetnya proses itu? Jawabannya adalah beliau. 24/7 selalu bersedia aku recokin untuk misuh-misuh—bahkan malam-malam waktu beliau lagi ikut training, sempat-sempatnya angkat telfonku sambil menggigil di pinggir jalan di Lembang hanya untuk misuh-misuh anak ini. Untuk semua kelapangan hati itu, terima kasih, Teh.

  • Last but not least, Teh Fildza and all team HCR

Kalau diingat-ingat lagi, Teh Fildza cukup sering counter banyak load-ku kalau mulai lebih dari kapasitasku. Bahkan beliau jadi orang yang sering notice raut lelahku kalau sudah mulai hilang fokus. Terutama Ketika mulai mendekat book launch, beliau secara implisit memastikan aku bekerja dengan aman dan nyaman. Mungkin karena itu semua keseruan ini bisa maksimal aku rasakan. Terima kasih, Teh.

And for all team… Akang, Teteh, dan Teman-teman semua. Untuk membersamai Zia di journey ini, TERIMA KASIH BANYAK🧡💙🧡💙

 

Komentar

  1. SEMUA ORANG BERSYUKUR ADA KAMU DI TIM ZIAAAAAAAAAA

    BalasHapus
  2. KATA AKU MAH, KAMU YANG MVP

    BalasHapus
  3. AK YAKIN BGT, IF YOU WERE THE ONE WHO ARRANGE ALL OF THIS, IT WOULD BE A 1008539654327523X MORE UNBELIEVEABLE...... BEYOND ANYTHING HUMAN COULD IMAGINE, JADI ANJAY MABAR (EH INI KENA SENSOR GA YAA)

    BalasHapus
  4. Maasyaa Allah..sangat menikmati buku ini..I Wish bisa menuliskan nama Zia ga hanya di ucapan terima kasih..tapi binun mau nempatinnya dimana. Pokoknya washilah Zia, HCR reborn ini ada. Jazakillah khairan katsiran ha Ziii

    BalasHapus
  5. Sama-sama. Aku bahagia jadi bagian journey-mu, zia, dan akan selalu seperti itu juga🫶

    BalasHapus

Posting Komentar